PERPANJANGAN KONTRAK FREEPORT Sumber :Majalah Detik |
Kali ini, tekanan PT Freeport Indonesia (PT FI) untuk menghentikan produksi dan merumahkan karyawannya tampaknya serius diterapkan. Sejak 17 Februari lalu, kegiatan penambangan di tambang Grasberg, Papua, telah dihentikan secara total dan sebanyak 33 ribu karyawan PT FI dirumahkan. Akibatnya, puluhan ribu karyawan Freeport beserta keluarganya menggelar aksi damai di Mimika untuk ikut menekan pemerintah Indonesia agar segera menerbitkan izin ekspor konsentrat.
Tekanan Freeport yang bikin repot pemerintah Indonesia ini sebenarnya bukan hanya kali ini. Pada saat berlakunya larangan ekspor mineral dan batu bara mentah sejak 12 Januari 2014 berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), PT FI menolak keras larangan itu sembari mengancam akan menghentikan produksi dan me-lakukan PHK besar-besaran. Bahkan Freeport juga menekan untuk menggugat pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional atas larangan ekspor mineral dan batu bara mentah itu.
Entah karena takut terhadap tekanan atau ada pertimbangan lain, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono kala itu akhirnya mengabulkan tuntutan PT FI untuk tetap mengekspor konsentrat, meskipun PT FI belum membangun smelter seperti yang disyaratkan UU Minerba. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang saat itu dijabat Jero Wacik, mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 yang mengizinkan Freeport mengekspor konsentrat dengan kadar tertentu.
Sudirman Said, Menteri ESDM jilid satu pemerintah Joko Widodo, tetap saja mengizinkan PT FI mengekspor konsentrat. Izin ekspor itu dikeluarkan setiap tahun berdasarkan hasil evaluasi atas kemajuan pembangunan smelter. Saat Arcandra Tahar menjadi Menteri ESDM jilid dua selama 20 hari, salah satu keputusan pentingnya adalah mengizinkan PT FI mengekspor konsentrat, meskipun tidak ada kemajuan dalam pembangunan smelter.
Ketika menjabat pelaksana tugas Menteri ESDM setelah dicopotnya Acandra, Luhut Binsar Pandjaitan memang tidak mengeluarkan kebijakan yang mengizinkan ekspor konsentrat. Namun Luhut sangat gencar mewacanakan kebijakan relaksasi ekspor mineral dan batu bara mentah, termasuk ekspor konsentrat yang mengakomodasi tuntutan PT FI.
Kemudian, saat Ignasius Jonan dilantik sebagai Menteri ESDM jilid tiga, wacana kebijakan relaksasi ekspor mineral dan batu bara mentah sempat tenggelam, tapi tiba-tiba muncul kembali. Tidak tanggung-tanggung, Presiden Joko Widodo menandatangani berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 (PP Minerba) yang menjadi dasar relaksasi ekspor mineral dan batu bara mentah. Padahal komitmen Presiden Jokowi sebelumnya sangat mendukung pengolahan serta pemurnian mineral dan batu bara mentah di smelter dalam negeri.
Saat peresmian pabrik nikel di Morowali, beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi dengan sangat tegas mengatakan bahwa, "Indonesia jangan lagi mengekspor mineral dan batu bara mentah, tapi mari kita olah di dalam negeri untuk menciptakan nilai tambah yang lebih besar bagi bangsa Indonesia." Mengapa tiba-tiba komitmen Presiden berubah dengan mengeluarkan PP Minerba? Barangkali, perubahan itu salah satunya disebabkan tekanan masif PT FI.
PP Minerba mewajibkan perusahaan pemegang kontrak karya (KK) mengolah serta memurnikan mineral dan batu bara mentah di smelter dalam negeri. Tanpa pengolahan dan pemurnian, perusahaan tambang tidak diizinkan mengekspor mineral dan batu bara mentah, kecuali perusahaan tambang tersebut mengubah statusnya dari KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Berdasarkan Permen ESDM Nomor 6/2017 dan Permen Menteri Perdagangan 1/2017, PT FI sesungguhnya sudah diizinkan mengekspor konsentrat setelah pengajuan PT FI dalam perubahan status KK menjadi IUPK disetujui pada 10 Februari 2017. Volume ekspor yang diizinkan sebesar 1.113.105 wet metric ton (WMT) konsentrat tembaga berdasarkan Surat Persetujuan Menteri ESDM Nomor 352/30/DJB/2017 tanggal 17 Februari 2017.
Dengan diakomodasinya tuntutan PT FI untuk mengekspor konsentrat sebesar itu, mestinya tidak ada alasan lagi bagi Freeport untuk menekan pemerintah Indonesia dengan ancaman penghentian produksi dan PHK. Namun bukan Freeport kalau tidak main an-cam sebelum semua tuntutan dipenuhi pemerintah. Kendati Freeport sudah mengubah status KK menjadi IUPK, PT FI menolak persyaratan IUPK yang berhubungan dengan divestasi 51 persen saham secara bertahap dan sistem perpajakan prevailing (besaran pajak yang berubah seiring dengan perubahan peraturan pajak di Indonesia). PT FI ngotot tetap menggunakan sistem perpajakan naildown (besaran pajak tetap), seperti yang diterapkan pada KK.
Pemerintah kali ini harus tegas menolak untuk memenuhi tuntutan di luar izin ekspor konsentrat, termasuk penolakan Freeport terhadap persyaratan divestasi dan sistem perpajakan prevailing. Semasif apa pun tekanan Freeport, pemerintah Indonesia harus berani mengatakan "take it or leave it". Pasalnya, tuntutan Freeport tersebut sudah sangat berlebihan dan keterlaluan. Kalau akhirnya pemerintah takluk terhadap tuntutan Freeport tersebut, tidak diragukan lagi kedaulatan energi negeri ini akan semakin tergerus oleh tekanan sewenang-wenang Freeport.
0 komentar:
Posting Komentar